Minggu, 03 Januari 2010

SISTEM PEMBELAJARAN FORMAL – NON FORMAL (HOMESHCOOLING)

SISTEM PEMBELAJARAN FORMAL – NON FORMAL (HOMESHCOOLING)

LATAR BELAKANG
Saat ini cara pembelajaran telah berkembang dengan pesat mengikuti pergerakan waktu yang kini tidak lagi berdiri sendiri. Sebagai pembelajaran yang diminati oleh dunia pendidikan dituntut untuk melakukan inovasi – inovasi baru yaitu untuk memudahkan seorang anak untuk menuntut pendidikan.
Dunia pendidikan sejauh ini telah berkembang sesuai kebutuhan dan kegunaannya. Pendidikan telah dikembangkan di dalam maupun di luar negeri mulai dari anak – anak sampai dewasa. Dengan berkembangnya dunia pendidikan ini membuat seseorang dapat memperoleh pendidikan formal atau non formal (home shcooling).
Perkembangan dunia pendidikan ini sangat dinantikan hal ini terbukti dengan adanya program – program pendidikan yang baru yang memudahkan seseorang untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dengan adanya hal tersebut saya mencoba memahami bagaimana standartrisasi pembelajaran formal – non formal (homeschooling).
TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejauh mana kecerdasan seseorang yang menenpuh pembelajaran formal dengan non formal (homeschooling).
2. Untuk mengetahui persentase pendidikan formal dengan non formal (homeshcooling).
3. Untuk mengetahui pembading pendidikan formal dengan non formal (homeschooling).
RUMUSAN MASALAH
Dalam proposal ini rumusan masalahnya adalah untuk mengetahui standartrisasi pendidikan formal dan non formal. Sistem pendidikan formal yang ada saat ini masih bersifat kaku dan kurang menghargai kecerdasan anak yang terbagi menjadi berbagai tipe. Hal ini diungkapkannya dengan sebuah kalimat: “Orang tua lebih bangga ketika anaknya cerdas matematika ketimbang cerdas sepak bola”. Selain itu, ia pun menyampaikan bahwa pendidikan tidak harus identik dengan kekerasaan, baik kekerasan fisik (pukulan, hukuman fisik) maupun psikologis (hinaan, cacian), seperti yang masih mewarnai pendidikan Indonesia. Pendidikan haruslah bisa dirasa menyenangkan bagi anak agar mereka dapat menyerap pelajaran dengan baik. Selain itu setiap anak pada dasarnya adalah cerdas, hanya saja tipe kecerdasannya berbeda-beda dan seharusnya pendidik dapat menghargai itu.
Homeschooling diartikan sebagai alternatif pendidikan anak yang menyediakan sistem yang berbeda dari pendidikan formal pada umumnya. Berbeda dengan sekolah formal, homeschooling lebih fleksibel. Metode yang digunakan menyenangkan bagi anak, seperti menggunakan media musik, warna, sulap, dll. Selain itu, tempat dan waktunya pun bebas. Homeschooling dapat dilakukan di rumah, di lapangan terbuka, di taman, dsb. Kelemahannya adalah kesulitan yang dihadapi pendidik dalam mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan interpersonal, yaitu berhubungan dengan orang lain. Namun, Kak Seto menyampaikan beberapa alternatif solusi untuk permasalahan tersebut. Bahkan menurutnya, peserta malah bisa memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik dari pada siswa sekolah formal. Anak homeschooling dapat berinteraksi dengan berbagai kalangan dan tingkatan usia sedangkan siswa sekolah formal lebih banyak berinteraksi dengan teman sebaya.
KAJIAN PUSTAKA
Homeschooling (Sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling.
Ada beberapa alasan mengapa para orang tua di Indonesia lebih memilih sekolah rumah. Kecendrungannya antara lain, bisa menekankan kepada pendidikan moral atau keagamaan, memperluas lingkungan sosial dan tentunya suasana belajar yang lebih baik, selain memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Menurut Ela Yuliawati, pandangan ini memberikan pengertian luas kepada setiap orang untuk lebih mengekspresikan keinginan dan kemampuan dalam menimba ilmu, tidak hanya di lingkungan yang dinamakan sekolah. Bahkan kesempatan mendapatkan ilmu yang lebih juga memiliki peluang besar sejalan dengan perkembangan pendidikan.
Hal ini yang kemudian membuat homeschooling dipilih sebagai salah alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Hingga kemudian model homeschooling (Sekolah Rumah) dimasukan dalam revisi UU pendidikan no 20 tahun 2003.
Tumbuhnya homeschooling di Jakarta dan sekitarnya harus dimaknai sebagai kepedulian masyarakat untuk ikut dalam memperluas akses pendidikan. Belum banyaknya riset yang dilakukan di Indonesia membuat informasi seputar homeschooling masih memakai referensi riset dari luar negeri.

Penelitian ini akan mendeskripsikan informasi seputar penyelenggaraan homeschooling yang ada di Jabotabek. Subyek penelitian adalah 43 keluarga yang memiliki 70 anak yang sedang melakukan homeschooling. Teknik pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner, wawancara dan observasi langsung ke komunitas-komunitas
homeschooling.

Hasil dari penelitian ini berupa rangkaian informasi tentang profil keluarga dan homeschooling mulai dari usia, status pernikahan, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan orangtua, serta usia anak, lama melakukan homeschooling, kurikulum yang dipakai hingga biaya untuk homeschooling.

Temuan lain dari penelitian ini yaitu, ada 11 alasan orangtua memilih homeschooling, tiga alasan yang terbanyak dijawab responden adalah tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak, penekanan kepada pendidikan iman dan ketidakpuasan terhadap kurikulum di sekolah formal.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat dari penyebaran kuesioner, wawancara dan observasi ke beberapa komunitas homeschooling dan juga ke beberapa kelompok homeschooling majemuk dan tunggal adalahsebagai berikut:

Berdasarkan hasil riset tentang Profil keluarga dan homeschooling yang ada di Jabotabek, berikut ini adalah hasil yang signifikan dari penelitian ini:
• 95% responden adalah pasangan suami istri yang berstatus Menikah. Ini menunjukkan homeschooling lebih banyak dilakukan oleh keluarga yang kuat(utuh).
• Rata-rata usia suami: 38,9 tahun dan rata-rata usia istri: 35,9 tahun.
• 95% pasangan yang baik suami atau istri adalah lulusan perguruan tinggi (S1,S2).
• 79% kuesioner diisi oleh para ibu/istri, para ibu yang lebih banyak memegang tanggung jawab dalam membimbing anak-anak dalam melakukan homeschooling.
• 63% yang melakukan homeschooling, adalah istri yang tidak bekerja. 47% di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. Dan 44% istri mengajar sendiri anaknya. Disimpulkan bahwa sebagian besar istri-istri yang tidak adalah lulusan perguruan tinggi dan mengajar anaknya sendiri.
• 70% anak pernah bersekolah di sekolah formal sebelum homeschooling (dengan tingkatan kelas yang berbeda-beda dari TK sampai SMA),dan 35% anak yang pernah bersekolah formal diajar sendiri oleh orangtuanya.
• Homeschooler dapat menggunakan 1 atau lebih kurikulum sesuai dengan kebutuhan mereka. Homeschooler harus menentukan satu kurikulum inti dan kemudian mencari pelengkap dari kurikulum itu jika perlu. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden menggunakan murni kurikulum luar negeri sebagai kurikulum inti atau menambahkan KurNas pada kurikulum intinya. Faktor ketidakpuasan terhadap kurikulum yang dipakai
di sekolah membuat responden memilih kurikulum lain yang menurut mereka lebih baik daripada KurNas.
• 84% responden melakukan homeschooling dibawah 5 tahun. Hanya 16% yang telah melakukan lebih dari 5 tahun.
Ada beberapa alasan mengapa orangtua memilih homeschooling, dan hamper semua alasan ini ada dalam riset yang telah dilakukan di Amerika, alasan yang berbeda adalah adanya faktor melihat kesuksesan keluarga lain sebagai inspirasi untuk melakukan homeschooling, serta ingin
meyekolahkan anak ke luar negeri. Faktor melihat pada kesuksean keluarga homeschooling lain, tidak didapati dalam riset di Amerika karena kebudayaan bangsa kita yang bersifat kolektip (collectivistic cultures).
Tiga alasan yang terbanyak dijawab orangtua dari 11 alasan tersebut adalah sebagai berikut:
• Orangtua merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan anak dan ingin agar hubungan dengan anak lebih dekat. Pada dasarnya orangtua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Keinginan untuk bertanggung jawab dalam kehidupan anak inilah yang membuat orangtua ingin berkorban lebih, terutama dalam hal ini adalah pendidikan. Lewat homeschooling ini orangtua mengharapkan dapat mempererat hubungan orangtua dan anak, karena waktu dengan anak bertambah banyak.
• Penekanan kepada pendidikan iman, pembentukan karakter dan nilai-nilai agama yang sesuai. Hal ini didorong oleh kurangnya pendidikan agama, nilainilai moral dan karakter di sekolah formal. Ada pula sekolah formal (negeri) yang hanya mengajarkan 1 agama dan mengharuskan semua anak mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama mereka. Hal ini mendorong orangtua melakukan homeschooling karena tidak ada pilihan sekolah yang sesuai dengan keyakinan mereka.
• Tidak setuju dengan kurikulum di sekolah formal (diknas). Beban pelajaran dan sistem kurikulum yang dianggap terlalu membebani anak serta tekanan yang diciptakan guru kepada anak dalam mengejar target kurikulum membuat banyak orangtua mengeluarkan anak dari sekolah formal.

Keuntungan dan kelemahan homeschooling sangat bervariasi tergantung kepada situasi keluarga dan pengalaman dari para responden. Hasil riset ini menyimpulkan 13 keuntungan dan 13 kelemahan homeschooling. Masing-masing tiga poin keuntungan dan kelemahan homeschooling yang paling banyak dijawab oleh para responden, adalah:
Keuntungan:
• Anak lebih mandiri, tanggung jawab, kreatif dan percaya diri. Prosesmenuju kemandirian dan tanggung jawab anak tidak terjadi begitu saja,orangtua memegang peranan penting dalam mengarahkan anak.
• Fleksibilitas waktu dan tempat. Bagi anak berkebutuhan khusus (autis misalnya) orangtua dapat menggabungkan program terapi dan proses pendidikannya. Anak yang berprestasi dalam olahraga dan seni dapat terus menjalankan latihan mereka.
• Belajar lebih menyenangkan, tidak terpaksa. Sesuai dengan semboyan yang dianut beberapa homeschooler, ”Belajar bisa di mana saja, kapan saja dan dari siapa saja.”
Kelemahan:
• Dapat terjebak dalam fleksibilitas waktu. Dengan fleksilitas waktu yang tinggi dalam homeschooling sehingga menuntut disiplin dan komitmen yang tinggi pula dari para homeschooler (baik orangtua maupun anak).
• Sosialisasi seumur relatif kurang berkembang dibandingkan dengan anak sekolah. Orangtua yang menyadari hal ini mengantisipasi dengan memasukkan anak ke dalam kursus-kursus yang sesuai dengan level anak atau bergabung dalam komunitas, sekolah minggu (gereja) dan lain-lain.
• Anak kurang mampu bersaing dan bekerja kelompok (team work).




METODOLOGI PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Masalah
1.4 Kajian Pustaka
1.5 Metodologi Penulisan
1.6 Metode Penelitian
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pembelajaran Formal
2.2 Pembelajaran Non Formal
BAB III STANDATRISASI PEMBELAJARAN FORMAL – NON FORMAL
3.1 Pengertian Pembelajaran Formal
3.2 Pengertian Pembelajaran Non Formal
3.3 Tujuan Dilakukannya Pembelajaran Non Formal
3.4 Beberapa Alasan Dilakukannya Pembelajaran Non Formal
3.5 Hasil Riset Pembelajaran Non Formal Di Indonesia
3.6 Kelebihan Pembelajaran Non Formal
3.7 Kelemahan Pembelajaran Non Formal


BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
4.3 Daftar Pustaka
METODE PENELITIAN
Dalam proposal ini pengambilan judul terinspirasi dari novel Musasi seri ke 7 yang di situ menjelaskan tentang pertarungan Musasi dengan Kojiro. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Musasi. Pertarungan ini merupakan pertarungan hidup dan mati. Akan tetapi dalam novel ini Musasi tidak membunuh Kojiro dan hanya membiarkan Kojiro tergeletak denagan luka tengkorak kepala yang pecah. Pertarunagn ini sebenarnya petarungan yang membedakan 2 orang yang berguru pada seseorang dengan orang yang belajar otodidak. Dengan adanya perbedaan itu maka saya ingin mengetahui apa perbedaan antara pembelajaran formal dan non formal.
Setelah membaca novel tersebut akhirnya saya mencoda membuat proposal tentang SISTEM PEMBELAJARAN FORMAL – NON FORMAL yang terinspirasi dari pertarungan Musasi dan Kojiro.
Dari hasil yang riset ternyata pembelajaran formal dan non formal memiliki kekurangan dan kelebihan masing – masing. Dari riset ini pembelajaran formal yang ada saat ini masih bersifat kaku dan kurang menghargai kecerdasan anak yang terbagi menjadi berbagai tipe. Hal ini diungkapkannya dengan sebuah kalimat: “Orang tua lebih bangga ketika anaknya cerdas matematika ketimbang cerdas sepak bola”. Selain itu, ia pun menyampaikan bahwa pendidikan tidak harus identik dengan kekerasaan, baik kekerasan fisik (pukulan, hukuman fisik) maupun psikologis (hinaan, cacian), seperti yang masih mewarnai pendidikan Indonesia. Pendidikan haruslah bisa dirasa menyenangkan bagi anak agar mereka dapat menyerap pelajaran dengan baik. Selain itu setiap anak pada dasarnya adalah cerdas, hanya saja tipe kecerdasannya berbeda-beda dan seharusnya pendidik dapat menghargai itu. Dalam pembelajaran formal ini anak menjadi Sosialisasi seumur relatif sangat berkembang dibandingkan dengan homeschooling. Anak – anak mampu bersaing dan bekerja kelompok (team work).
Pembelajaran non formal juga membuat anak lebih mandiri, tanggung jawab, kreatif dan percaya diri. Prosesmenuju kemandirian dan tanggung jawab anak tidak terjadi begitu saja,orangtua memegang peranan penting dalam mengarahkan anak. Fleksibilitas waktu dan tempat. Bagi anak berkebutuhan khusus (autis misalnya) orangtua dapat menggabungkan program terapi dan proses pendidikannya. Anak yang berprestasi dalam olahraga dan seni dapat terus menjalankan latihan mereka. Belajar lebih menyenangkan, tidak terpaksa. Sesuai dengan semboyan yang dianut beberapa homeschooler, ”Belajar bisa di mana saja, kapan saja dan dari siapa saja”. Akan tetapi pembelajaran ini dapat membuat anak terjebak dalam fleksibilitas waktu. Dengan fleksilitas waktu yang tinggi dalam homeschooling sehingga menuntut disiplin dan komitmen yang tinggi pula dari para homeschooler (baik orangtua maupun anak). Sosialisasi seumur relatif kurang berkembang dibandingkan dengan anak sekolah. Anak kurang mampu bersaing dan bekerja kelompok (team work).
DAFTAR PUSTAKA
www. home-schooling-efektifkah.com
www. Homeschooling--Model-Pengembangan-Sistem-Pendidikan.com
www.Index homeschooling.com
www.Index2 homeschooling.com

Minggu, 15 November 2009

Tugas UTS

Sejarah dan Perkembangan Gitar
Sering ditemukannya gitar dalam berbagai kesempatan, membentuk stereotip sederhana bahwa popularitas instrumen tersebut memang sangat tinggi. Hanya saja kepopulerannya seringkali melahirkan anggapan yang keliru dari sudut pandang tertentu, seperti: potensi gitar yang sebatas instrumen genjrang-genjreng dan nirmakna dari sudut pandang historis. Padahal, seperti halnya instrumen yang dianggap “agung” macam piano atau violin, gitar pun punya sejarah yang panjang. Tak cuma sejarah, gitar pun punya potensi yang lebih dari sekedar instrumen pengiring. Bahkan ada yang menjuluki gitar sebagai ”piano yang mudah dibawa-bawa”. Gitar pun punya tempat istimewa dalam alur sejarah r musik klasik yang di dalamnya hampir selalu terlibat kekayaan harmoni dan musikalitas. Hanya saja, memang, oleh karena segala keterbatasan dan pengaruh jaman tertentu, gitar tak serta merta terus mencuat. Kestabilannya kalah dari piano dan instrumen gesek, tapi tak berarti gitar minim peran. Seringkali berkat popularitas gitarlah, musik klasik diselamatkan dari imej eksklusifitas dan marjinalitas berlebihan.

Gitar adalah sebuah instrumen musik dengan akar sejarah yang digunakan di berbagai jenis musik. Secara umum, gitar memiliki 6 (enam) senar, meskipun gitar lain yang memiliki 4 (empat), 7 (tujuh), 8 (delapan), 10 (sepuluh), 11 (sebelas), 12 (duabelas), 13 (tigabelas), 18 (delapanbelas), masih tetap ada dan digunakan. Popularitas gitar sangat terasa khususnya dalam aliran musik flamenco, jazz, blues, country, mariachi, rock, dan berbagai bentuk musik pop, karena dalam aliran-aliran tersebut, gitar mendapatkan porsi yang sangat besar dan juga menjadi instrumen utama. Tak hanya dalam aliran musik yang umumnya dimainkan secara berkelompok, gitar juga dapat digunakan sebagai instrumen solo dalam musik klasik. Gitar dapat dimainkan secara akustik, yang suaranya dihasilkan dari getaran senar dan kemudian dimodulasi oleh lubang resonansi. Namun, gitar juga dapat dimainkan secara elektrik dengan menggunakan amplifier. Secara tradisional, gitar dibuat dari kombinasi berbagai bahan, misalnya kayu untuk bagian badan gitar, dan usus binatang untuk senarnya (yang belakangan digantikan dengan bahan nilon ataupun kawat).

Akar perkembangan Gitar dapat ditelusuri hingga 4000 tahun kebelakang, dengan mengkhususkan pada wilayah Asia Tengah hingga Asia Barat. Tetapi dokumentasi tertulis pertama yang menyebutkan gitar, berasal dari abad ke-14. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bentuk gitar yang paling mendekati bentuk modern pada saat ini berasal dari wilayah Spanyol, yang pada abad ke-16 digunakan oleh masyarakat kelas menengah kebawah sebagai pengganti dari vihuela (instrumen yang memiliki kemiripan bentuk dengan gitar) yang digunakan oleh kalangan aristokrat. Pada abad ke-16 dan 17, penggunaan instrumen gitar menjadi populer di negara-negara Eropa selain Spanyol.

Setelah melalui evolusi yang panjang, gitar mencapai bentuknya yang kita kenal seperti sekarang pada abad ke-18, dengan menggunakan enam senar untuk menggantikan bentuk senar-berpasangan yang dikenal sebelumnya. Vihuela yang berasal dari Spanyol, atau disebut juga viola da mano, merupakan instrumen penting yang berpengaruh dalam perkembangan gitar modern, yang disebabkan karena kemiripan antara vihuela dengan gitar. Vihuela memiliki penalaan yang sama dengan lute, dan memiliki bentuk yang mirip dengan gitar. Instrumen ini sempat sangat populer dalam waktu yang singkat di kawasan Spanyol dan Italia. Publikasi musik yang terakhir diketahui untuk vihuela muncul pada tahun 1576. Hingga saat ini belum ada kejelasan, apakah vihuela merupakan instrumen transisi menuju bentuk gitar modern, atau hanya sekedar kombinasi dari oud Arab dan lute Eropa. Menurut beberapa pendapat, perubahan bentuk vihuela menjadi serupa dengan gitar modern, adalah sebuah strategi untuk membedakan lute Eropa dari oud Arab/Moor.

Selama Abad Pencerahan (Renaissance), gitar belum sepopuler lute. Karena pada saat itu, gitar tidak dianggap sebagai sebuah instrumen yang serius. Karya dari Alonso Mudarra yang berjudul “Tres Libros de Musica en Cifras para Vihuela” dianggap sebagai karya pertama untuk instrumen gitar pada saat itu. Kemudian, gitar mulai menarik perhatian berbagai musisi, sehingga karya bagi gitar bermunculan dan bertambah banyak.

Penggunaan istilah gitar (bahasa Inggris, guitar) juga memiliki sejarah yang panjang. Bahasa Inggris mengadopsinya dari bahasa Spanyol guitarra. Istilah guitarra sendiri “dipinjam” dari bahasa Andalusia-Arab qitara, yang berasal dari bahasa Latin chitara, yang juga memiliki akar dari bahasa Yunani khitara. Sehingga ada beberapa istilah yang mungkin menjadi akar terbentuknya istilah “guitar”, yaitu :

1. Guitare – Prancis
2. Gitarre – Jerman
3. Guitarra – Spanyol
4. Chitarra – Italia
5. Violão – Portugis
6. Khitara – Yunani Kuno
7. Guittern – Abad Pertengahan.

Sementara itu, gitar elektrik dibuat untuk musik populer di Amerika Serikat pada tahun 1930an, yang umumnya memiliki badan yang penuh, tanpa lubang resonansi. Suara dari gitar elektrik dihasilkan oleh amplifier dan direkayasa secara elektronik oleh para gitaris yang menggunakannya. Les Paul, salah seorang musisi Amerika Serikat, membuat sebuah prototipe untuk gitar elektrik, yang kemudian menjadi sangat populer di awal tahun 1940an.

Penjajahan yang telah terjadi di Indonesia, selain menyisakan catatan kepedihan, juga seni. Salah satunya adalah dibawanya gitar oleh orang-orang Purtugis di sekitar abad ke-17. Pada waktu itu sejumlah tawanan asal Portugis di Malaka dimukimkan oleh Belanda di kawasan berawa-rawa di Jakarta Utara, di sebuah kampung Tugu. Agar mereka tidak bosan, mereka menghibur diri dengan bermain musik. Nah, musik yang mereka gunakan saat itu adalah gitar. Konon, dari hasil pengenalan rakyat terhadap alat musik itu, lahirlah beberapa alat musik petik yang dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu keroncong.

Ada 3 jenis gitar yang dimainkan para tawanan saat itu, yaitu :
1.Gitar Monica, yang terdiri dari 3 dawai
2.Gitar Rorenga, yang terdiri dari 4 dawai
3.Gitar Jitera, yang terdiri dari 5 dawai.

Dua abad kemudian gitar dan keroncong menjadi populer di kalangan bangsawan dan kemudian menyebar ke pelosok tanah air.

Pada awal evolusinya, gitar memiliki 4 (empat) course, yaitu 3 (tiga) pasang senar yang dimainkan bersamaan, dan sebuah senar untuk nada tertinggi seperti instrumen berdawai lainnya, yaitu ukulele. Selama masa Barok, gitar mendapatkan course ke-5.

Course ke-5 dapat ditala dengan nada :
1. “A", seperti yang dikenal sekarang.
2. Nada "A" rendah, dan satu oktaf lebih tinggi untuk pasangan senar lainnya
3. Keduanya bernada “A” dalam oktaf yang lebih tinggi dibandingkan gitar modern.

Pada akhir masa Barok, ada 2 (dua) perubahan signifikan terhadap gitar. Perubahan pertama yaitu senar yang berpasangan berkurang menjadi satu senar, dan penambahan satu senar lainnya, sehingga jumlahnya menjadi 6 (enam) senar. Hingga perubahan ini, gitar masih berbentuk kecil dan sempit. Kemudian, Antonio de Torres (1817-1892) nembuat desain dan konstruksi gitar yang baru. Dirinya memperbesar ukuran dan bereksperimen dengan bahan apapun yang mungkin dapat meningkatkan kualitas suara dari gitar, khususnya untuk meningkatkan volume suara. Dia juga yang pertama kali menggunakan penahan berbentuk kipas di dalam bagian atas dari badan gitar. Dari berbagai eksperimen yang dilakukannya, dia sempat membuat gitar menggunakan bahan spruce untuk bagian atas dan bahan paper-mache untuk bagian belakang serta samping, yang membuktikan pendapatnya bahwa sebagian besar volume dari gitar dihasilkan dari bagian atas. Dari karyanya ini, dia dapat disebut sebagai the father of the modern guitar.

Selain evolusi bentuk dan jumlah senar, bagian lain yang juga turut berubah dari waktu ke waktu adalah senar. Pada mulanya, gitar menggunakan senar dengan bahan dari usus hewan atau sutra. Namun pada tahun 1946, usus hewan digantikan dengan senar berbahan nilon. Penggunaan senar berbahan nilon merupakan kemajuan besar semenjak penggunaan usus hewan. Senar berbahan nilon dibuat oleh Albert Augustine, seorang pembuat instrumen musik yang berasal dari New York. Menurut istrinya, Rose Augustine, Augustine tidak mampu untuk memperoleh bahan senar dari usus hewan karena pembatasan yang diberlakukan akibat Perang Dunia II, dan mendapatkan ide setelah mengetahui bahwab ada surplus persediaan nilon untuk militer.
Augustine kemudian mendekati perusahaan DuPont, yang memproduksi nilon untuk militer, agar mau membuat senar berbahan nilon. Pada mulanya, perusahaan tersebut tidak yakin bahwa para pemain gitar akan mau memakai senar berbahan nilon yang memiliki karakter suara “sonik”. Untuk meyakinkan DuPont, Augustine membuat sebuah blind-test yang didengarkan oleh perwakilan dari DuPont. Pada ujicoba tersebut, perwakilan dari DuPont menyatakan bahwa gitar dengan senar berbahan nilon memiliki kualitas suara yang jauh lebih baik. Semenjak itulah, DuPont menyetujui permintaan Augustine untuk membuat senar gitar berbahan nilon. Andres Segovia sendiri, langsung mengganti senarnya yang lama dengan senar berbahan nilon semenjak mengetahui penemuan dari Augustine. Belakangan ini, senar berbahan fluorocarbon polymer digunakan sebagai alternatif dari penggunaan senar berbahan nilon. Suara yang dihasilkan senar berbahan polimer tersebut, lebih disukai oleh sebagian luthier (pembuat gitar)dan gitaris.

Selain gitar yang ada dengan model sekarang ini juga masih ada gitar tradisional yang masih dipertahankan bentuk dan ciri khasnya. Gitar ini biasanya juga dipakai dalam acara-acara penting keagamaan. Gitar tradisional tersebut juga menujukan salah satu ciri khas bagi yang menggunakannya. Gitar yang masih dipertahankan bentuknya ini adalah gitar AL UD salah satunya. Gitar ini masih digunakan di berbagai tempat dalam acara keagamaan dan paling saring digunakan di daerah Timur Tengah yang biasanya di padukan dangan alat musik lainya seperti ketipung dan rebana. Gitar ini sangat sering ditampilkan pada acara-acara keagamaan yang biasanya untuk menyanyikan lagu-lagu islami tatapi gitar jenis ini sangat jarang digunakan di Indonesia sebab tidak banyak orang yang bisa memainkannya bahkan jika ada yang memainkannya pasti bukan orang asli Indonesia. Karena sering ditampilkan, gitar ini menjadi salah satu gitar tradisional yang masih bertahan pada saat ini meskipun sudah banyak gitar-gitar modern yang banyak dipasaran dan dengan cara seperti itu membuat gitar ini mampu bertahan sampai sekarang.